Cinta yang Keras Kepala Pada Indonesia

Bulan Agustus yang baru aja berlalu selalu menyajikan kisah tentang -meminjam istilah teman baik saya- cinta yang keras kepala pada Indonesia :)

Media sosial, media konvensional, bahkan media kontroversial (hehehe...) banyak menampilkan cerita-cerita soal heroiknya orang-orang yang melakukan aksi kebaikan buat Indonesia tanpa pamrih. Jauh dari gemuruh tepuk tangan dan benderangnya lampu sorot di panggung penghargaan.

Awalnya saya pikir itu mah komoditi media aja buat naikin traffic atau ratingnya. Secara lagi di bulan Agustus, apa pun yang bernuansa merah putih pasti bakal dilahap sama penonton atau pembaca yang sedang bergelora dengan semangat nasionalisme.

Tapi kebetulan tanggal 10 Agustus kemarin saya ke Teluk Bintuni, Papua Barat. Untuk shooting dokumenter tentang upaya kabupaten di leher cendrawasih ini menurunkan penyakit malaria. Di situ saya bersentuhan langsung dengan Papa Pahlawan di Jalan yang Sunyi ini :)

Dari data API, atau Annual Parasite Insidence bisa dilihat kalau Teluk Bintuni telah berhasil menurunkan angka malaria meskipun belum bisa mengeliminasinya sama sekali. Padahal kita tahu kalau Papua dan Papua Barat adalah daerah endemi malaria. Tiap kali mengabarkan akan ke Papua, semua orang yang kenal selalu bilang, "jangan lupa minum obat malaria dulu!"

API Malaria Kabupaten Teluk Bintuni
Penurunannya signifikan

Caranya dengan metode EDAT. Early Diagnosis and Prom Treatment atau diagnosis cepat dan penanganan tepat. Soal metode, saya bakal cerita di postingan selanjutnya deh. Yang justru mau saya obrolin kali ini justru siapa-siapa aja di balik suksesnya metode EDAT ini :)

Muhammad Almahdi
Saya manggilnya Mas Ade, walopun sebenernya lebih tepat Kang Ade karena beliau asli orang Tasik, dan sudah 10 tahun ini bolak balik Tasik - Bintuni untuk menjadi analis tentang Malaria :D

Mas Ade sudah dari tahun 2004 dikontrak BP Tangguh, perusahaan pengeksplorasi gas alam di Bintuni, untuk menangani masalah malaria. Dari 10 tahun perjuangannya itu udah banyak banget cerita-cerita seru yang dia alami. Mulai dari berurusan dengan ribetnya birokrasi pemerintahan sampai kontrol ke kampung di pelosok pedalaman.

Salah satunya waktu dia harus turun dari speedboat 100 meter dari dermaga Kampung Onar karena air sedang surut, dan jalan di tengah pasir laut selama beberapa jam. Sendiri! Dia bela-belain melakukan itu karena membawa obat yang diperlukan oleh warga Kampung Onar.

"Itu kalo sayah mati terus kesapu ombak karena tiba-tiba pasang, gak bakal ada yang tahu tuh," katanya menutup cerita sambil cengengesan.

F. D. Mobilala
Panggilannya Pak Mobi, walaupun Mobilala itu sebenarnya marga. Nama panjangnya Franky Dominggus Mobilala. Saya singkat F. D. di cargen name film biar kaya mantan presiden amerika, hehehe...

Kepala bidang P2PL Dinas Kesehatan Bintuni yang paling concern sama pentingnya memberantas malaria. Dan jadi orang dinkes pertama yang menyadari efektifnya metode EDAT untuk mengeliminir malaria, di saat kebanyakan pejabat pemerintah lain justru memandangnya sebelah mata. Karena itu Pak Mobi jadi salah satu pendukung pertama project ini.

Sempet di-"langkahi" sama bawahannya waktu masih jadi kepala seksi yang melompat jadi kepala bidang, dan program-program kerjanya ditahan tanpa didanai karena dia berseberangan secara politik sama petinggi kabupaten. Tapi toh dia jalan terus, dan malah konsistensinya membuat program eliminasi malaria yang ada di bawah bidangnya banjir apresiasi di tingkat nasional.

Orangnya supel dan hangat. Tampangnya doang kek sekuriti, tapi hatinya helo kitty, hehehe. Dan kalo nolong nggak pake itung-itungan. Itu yang bikin dia banyak dikenal. Semua orang yang ketemu pasti dia sapa dan menyapa balik dengan akrab. This man is really someone! :D

Cinta yang Keras Kepala Pada Indonesia
Mas Ade yang kaus putih lengan ungu, Pak Mobi bertopi biru bersama keluarganya

Alasan
Semenjak diikutkan ke lomba Inovasi Pelayanan Publik KemenPAN RB dan lolos sampai Top 25, Kabupaten Teluk Bintuni mulai mendapat sorotan dan apresiasi. Tapi mereka ngaku bukan itu tujuannya segitu ngotot menjalankan metode ini.

"Ya mereka-mereka kan saudara saya," kata Pak Mobi waktu saya tanya kenapa. Cukup bisa dipahami karena Pak Mobi asli orang Bintuni. Salah satu orang tuanya, saya lupa Mama atau Bapaknya, itu orang Sorong, tapi Pak Mobi sudah sejak lahir di Bintuni.

Selain itu juga sudah dari awal tahun '90-an Pak Mobi menjadi mantri atau petugas kesehatan, dan sudah tanggung jawabnya juga untuk menyehatkan masyarakat.

Sedangkan Mas Ade lebih absurd lagi, dia bilang sekedar penasaran.

"Saya cuma pengen malaria itu hilang sama sekali dari Bintuni. Kalo berhasil, kabupaten lain bisa contoh, terus kalo diduplikasi di semua daerah kan bisa bebas malaria Indonesia nih."

Sepuluh tahun berusaha dan satu kabupaten saja belum berhasil dibebaskan sepenuhnya dari malaria, tapi sudah punya visi untuk membebaskan Indonesia dari malaria.

Cinta yang keras kepala itu nyata, ternyata :)

Previous
Next Post »
Thanks for your comment